Jumat, 22 Maret 2013

MAKALAH KELOMPOK STUDI ILMIAH


MAKALAH
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TANTANGAN GLOBALISASI
Untuk memenuhi tugas Kelompok Studi Ilmiah PGSD FKIP UKSW
Disusun oleh :
  1. Deni Prasetya                        292010007
  2. Andi Setyawan          292010188
  3. Nurcahyo Nugroho   292011205
  4. Novita Wijayanti       292011341
  5. Citra Rahmawati      292011505

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA (UKSW)
SALATIGA

2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Salah satu hal yang sedang diperhatikan adalah masalah pendidikan. Namun, dunia pendidikan di Indonesia saat ini belum bisa sesuai dengan apa yang diharapkan. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentuk generasi bangsa yang berkualitas pada kenyataannya sekarang ini banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pelajar. Misalnya, kasus tawuran antar pelajar, kesenangan para pelajar yang lebih suka bermain di dunia maya daripada belajar atau membaca buku, pengaruh perkembangan teknologi internet yang sering disalahgunakan para pelajar untuk membuka situs-situs porno, dan sebagainya.
            Jika dibandingkan, kenyataan dunia pendidikan di Indonesia pada masa lalu dan masa kini sangat jauh berbeda. Tidak adanya materi pelajaran tentang budi pekerti menyebabkan moral para pelajar menjadi kurang selaras dengan etika kehidupan dimasyarakat. Dari kenyataan yang terjadi, yang diperlukan dalam pendidikan di Indonesia saat ini adalah pembentukan karakter para pelajar. Jadi, efektifkah adanya pendidikan karakter ?
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana peran pendidikan dalam tantangan globalisasi ?
2.      Apakah nilai dan karakter bisa dibentuk dalam pendidikan ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui seberapa penting peran pendidikan dalam menghadapi tantangan globalisasi.
2.      Untuk membuktikan fungsi pendidikan dalam membentuk nilai dan karakter bangsa.




BAB II
PEMBAHASAN

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Globalisasi bukan hanya mempengaruhi hal-hal itu saja tetapi juga mempengaruhi aspek pendidikan di Indonesia. Sadar atau tidak pengaruh globalisasi ini sangatlah signifikan bagi pelajar-pelajar. Misalnya, kesenangan para pelajar yang lebih suka bermain di dunia maya daripada belajar atau membaca buku, pengaruh perkembangan teknologi internet yang sering disalahgunakan para pelajar untuk membuka situs-situs porno, dan sebagainya. Bukankah kasus-kasus tersebut sudah tidak relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3;
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dari UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 diatas bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan itu sangatlah berperan dalam menghadapi tantangan globalisasi karena kemajuan teknologi yang sangat cepat selain membawa pengaruh yang baik juga terdapat pengaruh yang buruk bagi pelajar sebab tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sekarang ini dunia pendidikan Indonesia lebih mengutamakan aspek kognitif  dan mengabaikan aspek afektif. Memang aspek kognitif itu merupakan inti dari pendidikan jadi lebih utama kognitif daripada afektif. Tetapi jangan pernah mengabaikan aspek afektif sebab tingkah laku pelajar yang buruk bisa mengubah nilai kognitif yang sebenarnya positif menjadi negatif. Untuk mengatasinya pendidikan harus mampu membentuk nilai dan karakter bangsa.
Pendidikan merupakan kunci utama dalam membentuk nilai dan karakter bangsa. Sebagaimana menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rencana mencanangkan pendidikan karakter pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2010. Pendidikan karekter diharapkan mampu menjawab kegalauan dunia pendidikan Indonesia. Namun banyak faktor yang  menjadi penyebab kendala diselenggarakannya pendidikan karakter. Kendala tersebut menurut Rofiq Anwar (2000) karena dunia saat ini dikuasai oleh peradaban materi sehingga desain pendidikan yang dibangun lebih dominan pada kultur materialistik. Sementara pendidikan yang berlangsung lebih banyak menghadirkan ilmu dengan sedikit nilai-nilai moralitas, teori dengan sedikit praktik, sehingga proporsionalitasnya tidak berimbang. Ketika kesadaran bahwa pendidikan karakter menjadi jawaban atas problematika bangsa, maka yang perlu diperhatikan adalah :
1.      Pendidikan karakter tidak cukup hanya sekadar diwacanakan tapi perlu praktik secara langsung.
2.      Perlu figur guru/dosen yang berperan tidak saja sebagai mitra belajar, namun jauh lebih penting dari itu semua adalah mampu menjadi uswah khasanah (teladan yang baik).
3.      Perlu didukung seluruh pelaksana pendidikan dan sarana peribadatan yang memadai sebagai media efektif menanamkan nilai-nilai religius pada anak didik.
4.      Perlu pembiasaan, kontinuitas, dan istikamah.
Pendidikan karakter dalam praktiknya jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif. Tidak hanya itu saja pendidikan karakter juga hanya memberi pembelajaran dalam lingkup sekolah masih ada lingkup yang sangat berperan yaitu keluarga. Kerja sama antara sekolah dengan keluarga merupakan hal yang sangat penting. Sekolah tidak mungkin  mengembangkan pendidikan karakter tanpa peran aktif orang tua. Kerjasama keduanya diperlukan.

Guru setidaknya diidentikkan dengan dua defenisi berikut. Pertama, dipandang dari sudut etimologis, guru berasal dari Bahasa Sansekerta “gu” yang berarti kegelapan dan “ru” yang berarti membebaskan atau menyingkirkan. Jadi, dilihat dari makna asalinya guru bermakna menyingkirkan atau menghalau kegelapan.
Dalam terang pemahaman ini, benarlah jika ada pendapat yang mengatakan bahwa guru itu pelita dalam kegelapan. Cahaya yang membersit dari pelita akan menghalau gelap dan menunjukkan jalan yang tepat untuk keluar dari jebakan ketidakberdayaan anak didik akibat kebodohan (Koesoema, 2009: xiii).
Kedua, guru juga sering dianggap sebagai akronim dari seseorang yang digugu dan ditiru. Guru adalah pribadi yang diteladani karena ia menunjukkan keutamaan-keutamaan (virtues) dalam praktek laku hidupnya. Guru hormat pada kejujuran, setia dalam ketekunan (persistence), luwes dalam bergaul dengan berbagai kalangan, memegang teguh kedisiplinan, dan mencintai anak didiknya.
Makhluk pembelajar
Menjadi guru tidaklah mudah. Sebagai pihak yang bertanggung jawab membantu generasi muda bangsa keluar dari pekatnya kegelapan (kebodohan) sekaligus menjadi pribadi yang layak diteladani maka seorang guru haruslah seorang makhluk pembelajar.
Andrias Harefa dalam bukunya berjudul Menjadi Makhluk Pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2000) mendefenisikan makhluk pembelajar sebagai setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni;
Pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya dengan selalu mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti: Siapakah aku? Darimanakah aku datang? Kemanakah aku akan pergi? Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini? Dan kepada siapakah aku percaya?;

Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya.

Berdasarkan defenisi yang dipaparkan di atas maka seorang guru harus selalu bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensialnya; Siapakah aku sebagai guru? Mengapa aku menjadi guru? Apakah tanggung jawabku sebagai guru? Apakah aku cukup setia mendampingi murid-muridku dalam ziarah mereka mencari ilmu? Apakah aku selalu berusaha mengaktualisasikan setiap potensi yang aku miliki untuk menolong anak didikku keluar dari cengkeraman kebodohan? Apakah aku menyisihkan waktu untuk membaca setiap hari? Atau berbagai pertanyaan lain.

Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial di atas, laku hidup seorang guru harus menunjukkan bahwa ia layak diteladani. Laku hidup yang layak diteladani menuntut guru untuk mau berubah setiap hari. Namun, perlu disadari bahwa mengubah diri sendiri bukanlah pekerjaan membalik telapak tangan. Lebih mudah mengubah seorang siswa dengan kemampuan pas-pasan menjadi lebih pintar dan kompeten karena untuk mengubah pihak lain kita hanya perlu melakukan pendekatan persuasive sehingga mereka percaya dan menciptakan perubahan. Sementara untuk mengubah diri sendiri membutuhkan keberanian, jiwa besar dan kesabaran (Koesoema, 2009: 157).

Belajar adalah sebuah wujud gerak keluar. Karenanya bila mau belajar maka seorang guru harus keluar dari dirinya sendiri. Ini tentunya bertentangan dengan arus perkembangan dunia global yang semakin mementingkan diri sendiri. Keluar dari diri berarti bersiap kehilangan sesuatu yang sudah melekat erat dalam diri. Inilah yang membuat perubahan itu menjadi semakin sulit dan menjebak guru untuk mencintai apa yang sudah ada (konservatif) dan enggan melakukan perubahan.

Matinya Guru

Hakikat seorang guru adalah belajar. Jika dahulu kala, Rene Descartes mengatakan, saya berpikir maka saya ada, maka seorang guru mesti mengatakan pada dirinya, saya belajar maka saya ada. Karena itu apabila guru sudah berhenti belajar maka sebenarnya ia sudah tidak ada (mati).

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang guru berhenti belajar. Dalam bukunya Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Doni Koesoema A. (2009) membeberkan enam factor yang menghambat seorang guru untuk belajar.

Pertama, jebakan rutinitas yang menuntut guru bekerja dalam keteraturan dan ritme yang jelas. Guru mesti mengikuti jadwal sekolah yang telah tersusun rapih seperti jadwal harian, kalender semester dan tahunan, ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester, pertemuan dengan siswa, orang tua, rapat dewan guru dan berbagai aktivitas rutin lainnya.

Dinamika seperti ini berlangsung setiap tahun selama kurun waktu layanan sebagai guru. Sarason (1971) mengatakan bahwa rutinitas dan kejenuhan membuat guru jarang menemukan a sense of personal growth (pertumbuhan diri sebagai pribadi) dan terjebak dalam kemandekan sense of intellectual growth (pertumbuhan intelektual).

Kedua, kelelahan fisik yang terjadi akibat tuntutan minimal beban yang mengharuskan guru mengajar 24 jam per minggu. Belum lagi guru harus membawa pekerjaannya ke rumah demi memenuhi standar pelayanan yang baik sebab di sekolah guru sudah tidak memiliki waktu tambahan untuk mengoreksi pekerjaan siswa.

Dinamika seperti ini menguras tenaga guru dan membuat mereka tidak dapat lagi bergerak lincah dan kreatif. Kesehatan fisiknya menurun pelan-pelan sehingga layanannya juga bergerak menuju titik nadir.

Ketiga, tugas yang menggunung selain mengajar. Selain tugas utama yang terkait dengan kegiatan mengajar seperti hadir dalam berbagai rapat kenaikan, kelulusan, pertemuan perwalian, komunikasi dengan orang tua siswa, membuat soal-soal ulangan, mengoreksi hasil kerja dan portofolio siswa, mempersiapkan materi ajar, guru masih memiliki tanggung jawab lain di luar jam mengajar seperti mendampingi kegiatan ekstra kurikuler, moderator OSIS, pendamping kelompok penelitian remaja, kesenian, olahraga, music, seni, teater, pencinta alam, majalah dinding,panitia penerimaan siswa baru, dan banyak kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Tuntutan kerja sedemikian jelas mengurangi waktu guru untuk belajar dan mengembangkan diri.

Keempat, selalu memberi tanpa menerima. Memberi tanpa pamrih adalah hakikat guru. Saranson (1971) memandang bahwa sikap mulia guru yang hanya memberi ini akan menguras tenaga dan energy guru secara perlahan. Kegiatan pemberian diri ini menuntut tenaga, energy, waktu dan konsentrasi pemikiran yang tidak sedikit dan serentak mengurangi kesempatan untuk membekali diri dengan aktivitas-aktivitas belajar yang memperkaya pengetahuan dan keterampilan.

Kelima, tiada sosok manusia. Tugas sebagai guru yang menuntut terlalu banyak akan menghambat guru bertumbuh menjadi seorang manusia yang dewasa. Menurut Waller (Koesoema, 2009: 47), hambatan pertumbuhan guru ini terjadi karena hakikat pekerjaan guru itu sendiri berpotensi melanggengkan pemikiran infantilisme dalam diri mereka.

Kontak intensif dengan anak-anak yang merupakan tuntutan profesinya membuat guru harus beradaptasi dan cenderung berpikir sebagai anak-anak agar dapat memahami anak-anaknya dengan lebih baik. Ia mesti menghayati dan memahami anak-anak dengan lebih baik. Guru adalah manusia dewasa yang terikat dengan dunia anak-anak karena pola pikir, nilai-nilai dan perilaku anak-anak adalah bagian dari kesehariannya.

Keenam, burn-out. Rutinitas yang membelenggu kreativitas, tumpukan kerja yang menggunung, ancaman kesehatan fisik dan psikologis, kekuatiran proses penuaan serta karier yang macet bisa membuat guru paceklik semangat sehingga lelah dan letih secara fisik dan psikologis (burnout).

Kondisi sedemikian terjadi karena guru dipaksa untuk memberikan diri secara berlebihan di satu pihak sementara reward sebagai imbalan atas kinerjanya tidak setara. Akibatnya muncul perubahan yang lebih bersifat negative. Guru kehilangan konsentrasi, mengajar asal-asalan dan bersikap sangat mekanistik. Guru juga bias terjebak dalam pola pikir negatif, curiga, anti pembaruan, mudah marah dan cenderung mengambinghitamkan system dan orang dalam berbagai persoalan yang terjadi. Otomatis kondisi sedemikian tidak ideal untuk belajar.
Pembentukan karakter tidak hanya bisa didapatkan dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru di dalam kelas saja. Tetapi bisa juga diperoleh melalui aktifitas-aktifitas kerohanian di lingkungan tempat tinggal ataupun di tempat-tempat peribadatan. Setiap kepercayaan pasti hanya mengajarkan hal-hal yang baik, oleh sebab itu perlu ditanamkan nilai-nilai keagamaan bagi anak. Penanaman nilai kerohanian sejak dini akan mengarahkan pribadi anak menjadi pribadi yang baik dan selalu memperhatikan batasan-batasan moral di lingkungan pergaulan mereka.
Dari semua pembentukan karakter yang diterima oleh peserta didik, baik di sekolah ataupun dilingkungan pergaulan mereka. Yang perlu ditekankan kepada peserta didik adalah pembiasaan, peserta didik harus mampu membiasakan diri dalam kehidupan mereka untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik dan berpegang pada norma. Pembiasaan dapat bertujuan untuk mengubah perilaku yang mencerminkan karakter tidak baik menjadi baik. Selanjutnya diperlukan juga kontinuitas atau dilakukan secara berulang-ulang. Pengulangan perilaku yang baik, sedikit demi sedikit akan dapat menutup atau bahkan menghilangkan perilaku yang sebelumnya tidak baik dan tidak sesuai norma. Yang terakhir adalah istikamah, yaitu berpendirian teguh atau konsisten. Dari pembiasaan dan pengulangan yang dilakukan kepada peserta didik, peserta didik perlu memiliki sikap untuk memilih. Apakah mereka akan tetap mempertahankan untuk berperilaku baik atau sebaliknya. Istikamah ini adalah keputusan akhir yang dipilih peserta didik.

BAB II
SIMPULAN
            Di zaman sekarang ini merupakan era globalisasi sehingga semua aspek di dunia makin terikat satu sama lain. Ini menjadi suatu masalah karena budaya negara satu dipengaruhi oleh negara lain. Negara Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan dan ramah tetapi sekarang mulai terkontaminasi budaya luar yang kurang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Maka pendidikan harus mampu membentuk nilai dan karakter bangsa seutuhnya. Dalam kenyataannya pendidikan karakter kurang begitu diperhatikan oleh para pendidik. Pendidik lebih menekankan pada aspek kognitif sehingga aspek afektif diabaikan. Agar aspek afektif tidak diabaikan maka yang perlu diperhatikan :
1.      Pendidikan karakter tidak cukup hanya sekadar diwacanakan tapi perlu praktik secara langsung.
2.      Perlu figur guru/dosen yang berperan tidak saja sebagai mitra belajar, namun jauh lebih penting dari itu semua adalah mampu menjadi uswah khasanah (teladan yang baik).
3.      Perlu didukung seluruh pelaksana pendidikan dan sarana peribadatan yang memadai sebagai media efektif menanamkan nilai-nilai religius pada anak didik.
4.      Perlu pembiasaan, kontinuitas, dan istikamah.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Adrianus Nongo.2012. Guru, Teruslah belajar atau mati
25 Maret 2012, dari
  1. Adrianus Nongo.2012. Kucing Hitam Pendidikan Karakter
25 Maret 2012, dari
  1. Adrianus Nongo.2012. Pendidikan Karakter Integral
25 Maret 2012, dari
  1. Adrianus Nongo.2012. Pendidikan Karakter
25 Maret 2012, dari
  1. Adrianus Nongo.2012. Mengembangkan Pendidikan Karakter di Sekolah
25 Maret 2012, dari


Tidak ada komentar:

Posting Komentar