Hujan Cinta
Dinda
mempercepat langkah kakinya menuju rumah, suara gemuruh dari langit yang
mendung mulai mengganggu telinganya. Dia tidak ingin pulang dalam keadaan basah
kuyup karena bisa-bisa dimarahi oleh mamanya. Suasana sore yang cukup sepi
membuat langkah Dinda lancar tanpa harus terganggu lalu-lalang pejalan kaki
lain. Tiba-tiba langkah Dinda terhenti di depan toko kue setelah teringat
pesanan donat dari mamanya. Dengan terburu-buru Dinda masuk ke dalam toko dan
keluar membawa bungkusan plastik berwarna putih. Baru melangkah beberapa kali,
rintik hujan jatuh di tangan kanannya. Semakin lama rintik hujan berubah
menjadi hujan deras dan membuat Dinda terpaksa kembali ke toko kue tadi untuk
berteduh dan menunggu hujan reda.
Sungguh hari yang melelahkan setelah seharian bosan
dengan kegiatan di sekolah yang menyita waktu dan pikirannya. Sebagai salah
satu anggota OSIS, setiap hari harus disibukkan dengan rapat. Sekarang ingin
cepat pulang agar bisa beristirahat tetapi malah terhalang oleh hujan. Di dalam
hatinya Dinda menggerutu, “Kenapa setiap kali hujan rasanya menyebalkan ya ?
Apakah hujan ditakdirkan untuk menyusahkan manusia ?”. Dalam lamunannya
tiba-tiba Dinda dikagetkan oleh suara petir yang keras dan menggelegar. Hujan
yang semakin deras ditambah suara petir yang keras membuat Dinda merasa takut
untuk malanjutkan perjalanan pulangnya dari sekolah.
Dari jarak beberapa meter, Dinda melihat seseorang
memakai payung yang serasa sudah tidak asing lagi di matanya. Semakin mendekat
semakin jelas pula wajah sang pemakai payung. Tepat di depan toko kue, orang
tersebut berhenti dan memberikan senyuman manis kepada Dinda.
Rio : “Dinda, sedang apa kamu disini ? Kok
belum pulang ?”.
Sambil
tersenyum Dinda menjawab pertanyaan orang tersebut.
Dinda : “Eh, Rio. Sebenarnya tadi aku mau pulang,
tapi mampir dulu beli kue pesanan mama. Begitu keluar, e....malah hujan. Karena
aku nggak bawa payung, jadi aku berteduh dulu di sini. Kamu kok baru pulang ?”
tanya Dinda.
Rio
adalah teman Dinda di sekolah, meskipun berbeda kelas tapi mereka sama-sama
anggota OSIS. Dinda sebagai bendahara OSIS, dan Rio sebagai wakil ketua OSIS.
Rio : “Iya tadi aku harus beres-beres
perlengkapan rapat, karena yang lain udah pulang duluan, aku harus beres-beres sendiri. Jadinya pulang
sore kayak gini.”
Dinda : “Oh, maaf ya. Aku nggak bantuin kamu.” Kata
Dinda.
Rio : “Nggak apa-apa kok, udah biasa.” Jawab
Rio.
Tanpa terasa hujan mulai agak reda dan waktu juga semakin
sore.
Dinda : “Eh, Rio. Kayaknya hujannya udah agak reda
nih, aku pulang dulu ya. Kasian mamaku, pasti udah nunggu donat pesenannya.”
kata Dinda.
Dengan
sigap Rio menjawab.
Rio : “Dinda tunggu, biar aku anter kamu ya. Kan
masih gerimis, nanti kalau tiba-tiba hujannya deras lagi gimana ? Kamu bisa
basah kuyup dan sakit. Jadi biar aku anter kamu, kan aku bawa payung.”
Dinda : “Nggak usah Rio, nggak apa-apa kok. Kasihan
kamu kalau harus nganter aku. Lagian rumah kita kan beda jalur.” tolak Dinda.
Rio : “Kamu lupa ya, aku kan cowok. Jadi aku
bisa jaga diri. Sedangkan kamu kan cewek, nanti kalau ada apa-apa di jalan
gimana ? Kalau berdua kan aku bisa ngelindungin kamu.” jawab Rio.
Dinda : “Ya udah deh aku mau.”
Rio : “Nah, gitu dong. Ayo.....”.
Akhirnya mereka berdua menuju rumah Dinda
dalam satu payung di tengah hujan gerimis. Selama perjalanan ke rumah Dinda,
tidak ada percakapan yang terjadi. Sampai akhirnya ada sebuah mobil yang lewat
dan mencipratkankan air kubangan yang ada di jalan ke arah Dinda. Dengan sigap
Rio mengarahkan punggungnya untuk melindungi Dinda dari cipratan air yang
kotor. Secara reflek Rio memeluk Dinda dan membuat Dinda deg-degan. Rio : “Awas Din.....” teriak Rio. “Kamu nggak
apa-apa kan ? Ngak basah kan ?” tanya Rio.
Dinda : “Nggak kok, aku nggak basah. Makasih kamu
udah ngalangin air tadi. Tapi baju seragam kamu jadi kotor gara-gara aku. Maaf
ya.”
Rio : “Ah, nggak apa-apa kok. Aku masih punya
seragam satu lagi di rumah.” kata Rio.
Kemudian
mereka kembali melanjutkan perjalanan ke rumah Dinda.
Dinda : “Eh, Rio. Aku boleh nanya sesuatu nggak sama
kamu ?” tanya Dinda.
Rio : “Boleh aja, tapi jangan yang macem-macem
lho.” jawab Rio.
Dinda : “Sebenarnya kamu udah punya pacar apa belum
sih ? Kok aku nggak pernah lihat kamu jalan sama pacar kamu.”
Rio : “Kok pertanyaanmu gitu, kamu sering
merhatiin aku ya ?” tanya Rio.
Dinda : “Enggak kok, aku kan cuma pengen tau aja.”
jawab Dinda dengan agak malu.
Rio : “Sebenernya aku belum punya pacar sih,
tapi aku lagi suka sama seorang cewek.”
Dinda : “Beneran ? Siapa ? Aku kenal dia nggak ?”
tanya Dinda dengan penuh rasa ingin tahu.
Rio : “Hm....kamu kenal kok, malahan kamu deket
banget sama dia.” jawab Rio.
Dengan
rasa penasaran Dinda kembali bertanya.
Dinda : “Siapa cewek beruntung itu ? Bilang sama aku
dong.”
Rio : “Beruntung.....
maksudnya ?” tanya Rio.
Dinda : “Iya
beruntung, kamu kan cowok baik, pinter, ganteng, wakil ketua OSIS pula. Siapa
sih cewek yang nggak suka sama kamu.” jawab Dinda.
Rio : “Oh, gitu ya. Sekarang aku mau tanya sama
kamu. Kamu bilang semua cewek suka sama aku. Kamu suka sama aku juga nggak ?”.
Deg,
Dinda terdiam dan tidak mengeluarkan sepatah katapun.
Rio : “Hei, aku bercanda” kata Rio.
Dinda : “Oh, syukurlah. Kirain kamu.....” belum
sempat Dinda selesai bicara, Rio memotong perkataan Dinda.
Rio : “Eh, sudah sampai rumah kamu nih.” kata Rio.
Dinda : “Eh, iya. Nggak kerasa udah sampai rumah ya
?” kata Dinda.
Hujan telah berhenti saat mereka sampai di rumah Dinda.
Rio : “ Ya udah kamu masuk sana, dah sore nih.
Nanti mama kamu nunggu lama.” kata Rio.
Dinda : “Iya, terima kasih ya Rio. maaf soal seragam
kamu.” balas Dinda.
Rio : “Kan aku udah bilang nggak apa-apa.
Cepetan masuk sana.”
Dinda : “Iya, iya. Kamu bawel banget deh” kata
Dinda.
Lalu
dinda masuk ke dalam rumahnya. Baru berpaling beberapa langkah tiba-tiba Rio
memanggilnya.
Rio : “Dinda, tunggu !”
Dinda : “Ada apa ? Aku mau masuk nih, di luar udah
mulai dingin.” jawab Dinda.
Rio : “Em..... Sebenarnya.....”
Dinda : “Cepetan ngomongnya, aku tinggal masuk nih”
kata Dinda.
Rio : “Tunggu ! Sebenarnya cewek beruntung
yang kita omongin tadi itu kamu.....”
Begitu
selesai mengatakan hal itu Rio langsung pulang dan meninggalkan Dinda yang
masih berdiri di depan rumahnya tanpa sepatah katapun. Dalam hati Dinda merasa
senang karena ternyata perasaan Rio sama seperti perasaan yang dirasakan Dinda.
Kemudian Dinda tersenyum sendiri dan beranjak masuk ke dalam rumah. Sambil membuka
pintu Dinda berpikir. Ternyata hujan tidak ditakdirkan untuk menyusahkan
manusia, tetapi hujan ditakdirkan untuk menyatukan hati manusia.
Oleh : Deni Prasetya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar