MAKALAH
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TANTANGAN
GLOBALISASI
Untuk memenuhi tugas Kelompok Studi Ilmiah PGSD FKIP UKSW
Disusun oleh :
- Deni Prasetya 292010007
- Andi Setyawan 292010188
- Nurcahyo Nugroho 292011205
- Novita Wijayanti 292011341
- Citra Rahmawati 292011505
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
(PGSD)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
(UKSW)
SALATIGA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang.
Salah satu hal yang sedang diperhatikan adalah masalah pendidikan. Namun, dunia
pendidikan di Indonesia saat ini belum bisa sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentuk generasi bangsa yang
berkualitas pada kenyataannya sekarang ini banyak pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh para pelajar. Misalnya, kasus tawuran antar pelajar, kesenangan
para pelajar yang lebih suka bermain di dunia maya daripada belajar atau
membaca buku, pengaruh perkembangan teknologi internet yang sering disalahgunakan
para pelajar untuk membuka situs-situs porno, dan sebagainya.
Jika dibandingkan, kenyataan dunia
pendidikan di Indonesia pada masa lalu dan masa kini sangat jauh berbeda. Tidak
adanya materi pelajaran tentang budi pekerti menyebabkan moral para pelajar
menjadi kurang selaras dengan etika kehidupan dimasyarakat. Dari kenyataan yang
terjadi, yang diperlukan dalam pendidikan di Indonesia saat ini adalah
pembentukan karakter para pelajar. Jadi, efektifkah adanya pendidikan karakter
?
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana peran
pendidikan dalam tantangan globalisasi ?
2.
Apakah nilai dan
karakter bisa dibentuk dalam pendidikan ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
seberapa penting peran pendidikan dalam menghadapi tantangan globalisasi.
2.
Untuk
membuktikan fungsi pendidikan dalam membentuk nilai dan karakter bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata "globalisasi" diambil dari kata
global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang
mapan, kecuali sekadar definisi kerja sehingga
tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada
yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses
alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu
sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan
batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Globalisasi bukan
hanya mempengaruhi hal-hal itu saja tetapi juga mempengaruhi aspek pendidikan
di Indonesia. Sadar atau tidak pengaruh globalisasi ini sangatlah signifikan
bagi pelajar-pelajar. Misalnya, kesenangan para pelajar yang lebih suka bermain
di dunia maya daripada belajar atau membaca buku, pengaruh perkembangan
teknologi internet yang sering disalahgunakan para pelajar untuk membuka
situs-situs porno, dan sebagainya. Bukankah kasus-kasus tersebut sudah tidak
relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3;
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dari UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 3 diatas bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan itu sangatlah
berperan dalam menghadapi tantangan globalisasi karena kemajuan teknologi yang
sangat cepat selain membawa pengaruh yang baik juga terdapat pengaruh yang
buruk bagi pelajar sebab tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa
yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sekarang ini dunia
pendidikan Indonesia lebih mengutamakan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif. Memang aspek
kognitif itu merupakan inti dari pendidikan jadi lebih utama kognitif daripada
afektif. Tetapi jangan pernah mengabaikan aspek afektif sebab tingkah laku
pelajar yang buruk bisa mengubah nilai kognitif yang sebenarnya positif menjadi
negatif. Untuk mengatasinya pendidikan harus mampu membentuk nilai dan karakter
bangsa.
Pendidikan merupakan kunci utama dalam membentuk
nilai dan karakter bangsa. Sebagaimana menurut Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam rencana mencanangkan pendidikan karakter pada peringatan Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2010. Pendidikan karekter diharapkan
mampu menjawab kegalauan dunia pendidikan Indonesia. Namun banyak faktor yang menjadi penyebab kendala diselenggarakannya
pendidikan karakter. Kendala tersebut menurut Rofiq Anwar (2000) karena dunia
saat ini dikuasai oleh peradaban materi sehingga desain pendidikan yang
dibangun lebih dominan pada kultur materialistik. Sementara pendidikan yang
berlangsung lebih banyak menghadirkan ilmu dengan sedikit nilai-nilai moralitas,
teori dengan sedikit praktik, sehingga proporsionalitasnya tidak berimbang.
Ketika kesadaran bahwa pendidikan karakter menjadi jawaban atas problematika
bangsa, maka yang perlu diperhatikan adalah :
1.
Pendidikan karakter
tidak cukup hanya sekadar diwacanakan tapi perlu praktik secara langsung.
2.
Perlu figur
guru/dosen yang berperan tidak saja sebagai mitra belajar, namun jauh lebih
penting dari itu semua adalah mampu menjadi uswah khasanah (teladan yang baik).
3.
Perlu didukung
seluruh pelaksana pendidikan dan sarana peribadatan yang memadai sebagai media
efektif menanamkan nilai-nilai religius pada anak didik.
4.
Perlu pembiasaan,
kontinuitas, dan istikamah.
Pendidikan karakter dalam praktiknya jika ingin
efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya.
Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi
wacana semata.
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas.
Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai
pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional
komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan
monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari
guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman
dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,
termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen
kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana
belajar yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur
sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk
karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu
terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran
tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan
moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan
tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku
ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis
komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian.
Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan
negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam
penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi
yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang
tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika
tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis.
Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak
efektif. Tidak hanya itu saja pendidikan karakter juga hanya memberi
pembelajaran dalam lingkup sekolah masih ada lingkup yang sangat berperan yaitu
keluarga. Kerja sama antara sekolah dengan keluarga merupakan hal yang sangat
penting. Sekolah tidak mungkin
mengembangkan pendidikan karakter tanpa peran aktif orang tua. Kerjasama
keduanya diperlukan.
Guru setidaknya diidentikkan dengan dua defenisi
berikut. Pertama, dipandang dari sudut etimologis, guru berasal dari Bahasa
Sansekerta “gu” yang berarti
kegelapan dan “ru” yang berarti
membebaskan atau menyingkirkan. Jadi, dilihat dari makna asalinya guru bermakna
menyingkirkan atau menghalau kegelapan.
Dalam terang pemahaman ini, benarlah jika ada
pendapat yang mengatakan bahwa guru itu pelita dalam kegelapan. Cahaya yang
membersit dari pelita akan menghalau gelap dan menunjukkan jalan yang tepat
untuk keluar dari jebakan ketidakberdayaan anak didik akibat kebodohan
(Koesoema, 2009: xiii).
Kedua, guru juga sering dianggap sebagai akronim
dari seseorang yang digugu dan ditiru. Guru adalah pribadi yang diteladani
karena ia menunjukkan keutamaan-keutamaan (virtues) dalam praktek laku
hidupnya. Guru hormat pada kejujuran, setia dalam ketekunan (persistence),
luwes dalam bergaul dengan berbagai kalangan, memegang teguh kedisiplinan, dan
mencintai anak didiknya.
Makhluk
pembelajar
Menjadi guru tidaklah mudah. Sebagai pihak yang
bertanggung jawab membantu generasi muda bangsa keluar dari pekatnya kegelapan
(kebodohan) sekaligus menjadi pribadi yang layak diteladani maka seorang guru
haruslah seorang makhluk pembelajar.
Andrias Harefa dalam bukunya berjudul Menjadi
Makhluk Pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2000) mendefenisikan makhluk
pembelajar sebagai setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab
untuk melakukan dua hal penting, yakni;
Pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi
dan bakat-bakat terbaiknya dengan selalu mencari jawaban yang lebih baik
tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti: Siapakah aku? Darimanakah aku
datang? Kemanakah aku akan pergi? Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam
hidup ini? Dan kepada siapakah aku percaya?;
Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk
mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan
dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri
dan menolak dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya.
Berdasarkan defenisi yang dipaparkan di atas maka
seorang guru harus selalu bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan
eksistensialnya; Siapakah aku sebagai guru? Mengapa aku menjadi guru? Apakah
tanggung jawabku sebagai guru? Apakah aku cukup setia mendampingi murid-muridku
dalam ziarah mereka mencari ilmu? Apakah aku selalu berusaha mengaktualisasikan
setiap potensi yang aku miliki untuk menolong anak didikku keluar dari
cengkeraman kebodohan? Apakah aku menyisihkan waktu untuk membaca setiap hari?
Atau berbagai pertanyaan lain.
Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial
di atas, laku hidup seorang guru harus menunjukkan bahwa ia layak diteladani.
Laku hidup yang layak diteladani menuntut guru untuk mau berubah setiap hari.
Namun, perlu disadari bahwa mengubah diri sendiri bukanlah pekerjaan membalik
telapak tangan. Lebih mudah mengubah seorang siswa dengan kemampuan pas-pasan
menjadi lebih pintar dan kompeten karena untuk mengubah pihak lain kita hanya
perlu melakukan pendekatan persuasive sehingga mereka percaya dan menciptakan
perubahan. Sementara untuk mengubah diri sendiri membutuhkan keberanian, jiwa besar
dan kesabaran (Koesoema, 2009: 157).
Belajar adalah sebuah wujud gerak keluar. Karenanya
bila mau belajar maka seorang guru harus keluar dari dirinya sendiri. Ini
tentunya bertentangan dengan arus perkembangan dunia global yang semakin
mementingkan diri sendiri. Keluar dari diri berarti bersiap kehilangan sesuatu
yang sudah melekat erat dalam diri. Inilah yang membuat perubahan itu menjadi
semakin sulit dan menjebak guru untuk mencintai apa yang sudah ada
(konservatif) dan enggan melakukan perubahan.
Matinya Guru
Hakikat seorang guru adalah belajar. Jika dahulu
kala, Rene Descartes mengatakan, saya berpikir maka saya ada, maka seorang guru
mesti mengatakan pada dirinya, saya belajar maka saya ada. Karena itu apabila
guru sudah berhenti belajar maka sebenarnya ia sudah tidak ada (mati).
Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang guru
berhenti belajar. Dalam bukunya Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Doni
Koesoema A. (2009) membeberkan enam factor yang menghambat seorang guru untuk
belajar.
Pertama, jebakan rutinitas yang menuntut guru
bekerja dalam keteraturan dan ritme yang jelas. Guru mesti mengikuti jadwal
sekolah yang telah tersusun rapih seperti jadwal harian, kalender semester dan
tahunan, ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester,
pertemuan dengan siswa, orang tua, rapat dewan guru dan berbagai aktivitas
rutin lainnya.
Dinamika seperti ini berlangsung setiap tahun selama
kurun waktu layanan sebagai guru. Sarason (1971) mengatakan bahwa rutinitas dan
kejenuhan membuat guru jarang menemukan a sense of personal growth (pertumbuhan
diri sebagai pribadi) dan terjebak dalam kemandekan sense of intellectual
growth (pertumbuhan intelektual).
Kedua, kelelahan fisik yang terjadi akibat tuntutan
minimal beban yang mengharuskan guru mengajar 24 jam per minggu. Belum lagi
guru harus membawa pekerjaannya ke rumah demi memenuhi standar pelayanan yang
baik sebab di sekolah guru sudah tidak memiliki waktu tambahan untuk mengoreksi
pekerjaan siswa.
Dinamika seperti ini menguras tenaga guru dan
membuat mereka tidak dapat lagi bergerak lincah dan kreatif. Kesehatan fisiknya
menurun pelan-pelan sehingga layanannya juga bergerak menuju titik nadir.
Ketiga, tugas yang menggunung selain mengajar.
Selain tugas utama yang terkait dengan kegiatan mengajar seperti hadir dalam
berbagai rapat kenaikan, kelulusan, pertemuan perwalian, komunikasi dengan
orang tua siswa, membuat soal-soal ulangan, mengoreksi hasil kerja dan
portofolio siswa, mempersiapkan materi ajar, guru masih memiliki tanggung jawab
lain di luar jam mengajar seperti mendampingi kegiatan ekstra kurikuler,
moderator OSIS, pendamping kelompok penelitian remaja, kesenian, olahraga,
music, seni, teater, pencinta alam, majalah dinding,panitia penerimaan siswa
baru, dan banyak kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Tuntutan kerja sedemikian
jelas mengurangi waktu guru untuk belajar dan mengembangkan diri.
Keempat, selalu memberi tanpa menerima. Memberi
tanpa pamrih adalah hakikat guru. Saranson (1971) memandang bahwa sikap mulia
guru yang hanya memberi ini akan menguras tenaga dan energy guru secara
perlahan. Kegiatan pemberian diri ini menuntut tenaga, energy, waktu dan
konsentrasi pemikiran yang tidak sedikit dan serentak mengurangi kesempatan
untuk membekali diri dengan aktivitas-aktivitas belajar yang memperkaya
pengetahuan dan keterampilan.
Kelima, tiada sosok manusia. Tugas sebagai guru yang
menuntut terlalu banyak akan menghambat guru bertumbuh menjadi seorang manusia
yang dewasa. Menurut Waller (Koesoema, 2009: 47), hambatan pertumbuhan guru ini
terjadi karena hakikat pekerjaan guru itu sendiri berpotensi melanggengkan
pemikiran infantilisme dalam diri mereka.
Kontak intensif dengan anak-anak yang merupakan
tuntutan profesinya membuat guru harus beradaptasi dan cenderung berpikir
sebagai anak-anak agar dapat memahami anak-anaknya dengan lebih baik. Ia mesti
menghayati dan memahami anak-anak dengan lebih baik. Guru adalah manusia dewasa
yang terikat dengan dunia anak-anak karena pola pikir, nilai-nilai dan perilaku
anak-anak adalah bagian dari kesehariannya.
Keenam, burn-out. Rutinitas yang membelenggu
kreativitas, tumpukan kerja yang menggunung, ancaman kesehatan fisik dan
psikologis, kekuatiran proses penuaan serta karier yang macet bisa membuat guru
paceklik semangat sehingga lelah dan letih secara fisik dan psikologis
(burnout).
Kondisi sedemikian terjadi karena guru dipaksa untuk
memberikan diri secara berlebihan di satu pihak sementara reward sebagai
imbalan atas kinerjanya tidak setara. Akibatnya muncul perubahan yang lebih
bersifat negative. Guru kehilangan konsentrasi, mengajar asal-asalan dan
bersikap sangat mekanistik. Guru juga bias terjebak dalam pola pikir negatif,
curiga, anti pembaruan, mudah marah dan cenderung mengambinghitamkan system dan
orang dalam berbagai persoalan yang terjadi. Otomatis kondisi sedemikian tidak
ideal untuk belajar.
Pembentukan karakter tidak hanya bisa didapatkan
dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru di dalam kelas saja. Tetapi bisa
juga diperoleh melalui aktifitas-aktifitas kerohanian di lingkungan tempat
tinggal ataupun di tempat-tempat peribadatan. Setiap kepercayaan pasti hanya
mengajarkan hal-hal yang baik, oleh sebab itu perlu ditanamkan nilai-nilai
keagamaan bagi anak. Penanaman nilai kerohanian sejak dini akan mengarahkan
pribadi anak menjadi pribadi yang baik dan selalu memperhatikan batasan-batasan
moral di lingkungan pergaulan mereka.
Dari semua pembentukan karakter yang diterima oleh
peserta didik, baik di sekolah ataupun dilingkungan pergaulan mereka. Yang
perlu ditekankan kepada peserta didik adalah pembiasaan, peserta didik harus
mampu membiasakan diri dalam kehidupan mereka untuk senantiasa melakukan
hal-hal yang baik dan berpegang pada norma. Pembiasaan dapat bertujuan untuk
mengubah perilaku yang mencerminkan karakter tidak baik menjadi baik.
Selanjutnya diperlukan juga kontinuitas atau dilakukan secara berulang-ulang.
Pengulangan perilaku yang baik, sedikit demi sedikit akan dapat menutup atau
bahkan menghilangkan perilaku yang sebelumnya tidak baik dan tidak sesuai
norma. Yang terakhir adalah istikamah, yaitu berpendirian teguh atau konsisten.
Dari pembiasaan dan pengulangan yang dilakukan kepada peserta didik, peserta
didik perlu memiliki sikap untuk memilih. Apakah mereka akan tetap
mempertahankan untuk berperilaku baik atau sebaliknya. Istikamah ini adalah keputusan
akhir yang dipilih peserta didik.
BAB II
SIMPULAN
Di zaman sekarang ini merupakan era
globalisasi sehingga semua aspek di dunia makin terikat satu sama lain. Ini
menjadi suatu masalah karena budaya negara satu dipengaruhi oleh negara lain. Negara
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan dan ramah tetapi sekarang mulai
terkontaminasi budaya luar yang kurang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia
yang sesungguhnya. Maka pendidikan harus mampu membentuk nilai dan karakter
bangsa seutuhnya. Dalam kenyataannya pendidikan karakter kurang begitu
diperhatikan oleh para pendidik. Pendidik lebih menekankan pada aspek kognitif
sehingga aspek afektif diabaikan. Agar aspek afektif tidak diabaikan maka yang perlu
diperhatikan :
1.
Pendidikan
karakter tidak cukup hanya sekadar diwacanakan tapi perlu praktik secara
langsung.
2.
Perlu figur
guru/dosen yang berperan tidak saja sebagai mitra belajar, namun jauh lebih
penting dari itu semua adalah mampu menjadi uswah khasanah (teladan yang baik).
3.
Perlu didukung
seluruh pelaksana pendidikan dan sarana peribadatan yang memadai sebagai media
efektif menanamkan nilai-nilai religius pada anak didik.
4.
Perlu
pembiasaan, kontinuitas, dan istikamah.
DAFTAR PUSTAKA
- Adrianus
Nongo.2012. Guru, Teruslah belajar atau mati
25
Maret 2012, dari
- Adrianus
Nongo.2012. Kucing Hitam Pendidikan Karakter
25
Maret 2012, dari
- Adrianus
Nongo.2012. Pendidikan Karakter Integral
25
Maret 2012, dari
- Adrianus
Nongo.2012. Pendidikan Karakter
25
Maret 2012, dari
- Adrianus
Nongo.2012. Mengembangkan Pendidikan Karakter di Sekolah
25
Maret 2012, dari